Semalam Bersama Putri Raja Lindu

Oma (kiri) bersama seorang penari Lindu
Perempuan itu berkulit putih nyaris pucat. Rambutnya ikal, panjang, dan kemerah-merahan. Tatapan matanya teduh dan menenangkan. Setiap geriknya begitu lembut. Keriput kulitnya tak dapat menyembunyikan betapa cantiknya ia di masa muda. Bahkan kini di usianya yang sudah tua—barangkali di atas 60 tahun—ia masih tampak cantik. Setidaknya jika disandingkan dengan perempuan seusianya.

Saya kaget ketika tahu dia istrinya Pak Alimutia. Pak Alimutia adalah opanya Pak Subarkah, teman seperjalanan saya ke Pipikoro, Sulawesi Tengah. Ia seorang pria kurus berkulit hitam. Tak tampak sisa-sisa ketampanan fisik pada wajahnya. Tapi ia sangat cerdas. Saya kaget menemukan orang gunung secerdas dia. Kemudian, saya dapat memaklumi kecerdasan yang ia miliki, ketika ia bercerita bahwa ia seorang wartawan. Ia sering mengirim berita untuk VoA atau BBC. Ia bahkan sering ke luar negeri.

Perempuan itu kemudian, saya sebut Oma karena saya begitu bodoh tak menanyakan namanya.

Ketika pertama kali melihat Oma, saya berbisik pada Pak Subarkah. "Oma itu orang asli Lindu? Apakah, dia punya darah Barat? Bule? Masya Allah cantik sekali!"

Pak Subarkah tidak tahu. Ia kemudian memberitahukan apa yang saya bisikkan kepada Oma dalam bahasa Lindu. Oma melihat saya sambil tersenyum. Ia memegangi anak-anak rambutnya yang tergerai di dahi. "Sudah seharian rambut saya belum ketemu sisir," ucapnya. Barangkali ia risih saya bilang cantik. "Saya bule Lindu," tambahnya tersipu.

Oma kemudian memberitahu apa yang saya katakan kepada suaminya. Dan Pak Alimutia menjelaskan kepada saya, bahwa Oma punya darah Prancis.

Oma adalah putri satu-satunya Raja Lindu. Di Lindu, yang berlaku adalah sistem matrilineal, bukan patrilineal seperti di kebanyakan daerah Indonesia. Dengan demikian, setelah raja wafat, Oma adalah pewaris takhta kerajaan. Tapi saat ini sistem kerajaan sudah tidak berlaku di sana. Meski demikian, Oma dan suaminya masih sangat dihormati di Lindu. Semua orang mengenalnya. Jika ada warga yang mendapat banyak mujair hasil pancingan dari danau Lindu, Oma selalu mendapat bagian.

Kami tiba di sana karena keingintahuan saya mengenai Lindu. Dalam perjalanan dari Palu ke Pipikoro, saya mendengar bahwa sedang ada Festival Danau Lindu. Ini festival budaya tahunan, tapi dua tahun sebelumnya batal dilaksanakan. Tahun pertama batal karena banjir bandang yang melanda Sulteng, dan tahun kedua karena gempa bumi.  Saya meminta Pak Subarkah agar, sepulang dari Pipikoro kami mampir dulu ke Lindu sebelum ke kota Palu. Maka pada Jumat sore itu, di sinilah kami berada, di rumah Oma, sang Ratu Lindu.

Untuk masuk ke Lindu, kami harus melewati 2 lapisan bukit. Pertama-tama, kami melalui jalan menanjak, sebelum akhirnya menyusur lereng ke bawah, dan mendapatkan desa ini dengan jalan datar berbatu kasar. Saya bersyukur, jalan yang kami lalui ini setidaknya lebih bagus daripada jalan ke Pipikoro. Jalan ke Lindu lebih lebar dan tampaknya telah diratakan. Menurut Pak Subarkah, jalan ini baru diperlebar tahun lalu.

Gempa tahun lalu merobohkan rumah sejumlah warga di Lindu, termasuk rumah Oma. Tim pembawa bantuan sulit menjangkau lokasi karena akses terbatas. Jalan menuju Lindu hanya jalan setapak. Gempa itulah yang kemudian mendorong dilakukannya pelebaran jalan agar penyaluran bantuan bisa lebih mudah.

Di sepanjang jalan adalah kebun dan sawah yang sepertinya tidak terlalu subur. Saya menyaksikan batang-batang padi yang begitu kurus. Tapi di halaman rumah warga terhampar jemuran kopi dan kakao yang sepertinya menjadi sumber mata pencaharian yang cukup menjanjikan.

Rumah Oma terbagi menjadi dua bagian. Rumah induk di bagian depan, dan dapur di bagian belakang. Rumah induk terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang hanya sekitar 1 meter. Dapur jauh lebih sederhana, berlantai tanah dan berdinding bambu, tapi ada balai-balai di sisi kiri-kanan yang berfungsi sebagai tempat duduk melantai saat makan. Dapur ini selalu penuh kepulan asap dari tunggu berbahan bakar kayu.

Rumah induk penuh tempelan poster di dinding. Segala macam poster terdapat di sana, mulai dari poster Yesus hingga poster kampanye anti korupsi. Ketika tiba, kami langsung menuju dapur. Oma datang ke sana kemudian, dan segera menegur kami agar naik ke atas rumah. Katanya dapur terlalu kotor. Ia lalu membuatkan kami kopi panas.

Di rumah itu sedang banyak tamu. Pak Alimutia bilang, rumahnya selalu ramai oleh tamu dari kecamatan maupun kabupaten. Apalagi sekarang sedang ada festival budaya. Ia meminta saya menyimpan tas di sebuah kamar. Rupanya kami menjadi tamu spesial hari itu. Saya diberi kamar khusus.

Setelah berganti pakaian, kami kembali ke pinggir danau. Pak Alimutia berpesan agar kami cepat pulang untuk makan malam. Oma akan memasak ikan mujair bumbu pedas untuk kami.

Ketika kami pulang jam 7, sepasang suami istri itu mengomel. Pak Alimutia bilang ia telah mencari kami di pinggir danau tapi tidak bertemu. Mereka menggiring kami ke dapur. Makanan telah tersaji. Ikan bakar bumbu pedas dan ikan goreng. Oma bilang tamu sedang banyak. Ikan cuma sedikit. Kalau terlambat kami tidak kebagian. Karena itu, ia menyuruh kami makan duluan.

Sambil makan, Pak Alimutia memberitahu agar saya nanti tidur di kamar tempat saya berganti pakaian. Itu akan menjadi kamar khusus untuk saya. Hanya saya yang bisa menggunakannya. "Saya akan temani tidur supaya tidak ada yang culik kamu," kata Oma. Saya mengiyakan.

Pak Subarkah tidak bersedia menemani saya menyaksikan pagelaran kesenian di tepi danau seusai makan malam. Ia bilang ingin berbincang dengan Pak Alimutia. Ia meminta Ody yang menemani saya menonton. Sejak di Pipikoro, Ody memang sudah naik pangkat dari tukang ojek jadi teman seperjalanan. Saya dan Pak Subarkan menjadi sangat akrab dengan Ody dan Albert, dua tukang ojek kami itu.

Ody mengiyakan. Barangkali ia tidak enak hati menolak permintaan Pak Subarkah. Saya tahu ia pasti akan memilih berkumpul dengan para kenalannya di Lindu sambil menenggak saguer (arak Sulteng) untuk menghangatkan badan, ketimbang menemani saya duduk berjam-jam di depan panggung seperti orang bodoh. Ody bukan tipe orang seperti saya yang gampang terpesona oleh suara musik bambu atau lenggak-lenggok penari tradisional. Albert sendiri, sedari tadi tak tahu entah kemana.

Saya kembali dari tepi danau pukul 9 malam. Benar perkiraan saya. Setelah mengantar saya pulang, Ody ngacir entah kemana.

Rumah Oma mulai senyap. Sejumlah tamu tergeletak di lantai,  tidur di dalam kelambu. Bahkan teras rumah pun dipenuhi orang tidur. Saya langsung membuka pengikat pintu kamar dan masuk ke dalam. Seorang tamu bilang Oma ada di kamar sebelah. Saya berpikir ia sudah tidur. Saya tidak enak memanggil dia menemani saya.

Cuaca sangat dingin. Saya mengenakan dua lapis jaket, kaos kaki, kaos tangan dan syal. Belum cukup menghangatkan. Saya masih menggigil. Gigil ini membuat badan saya yang kelelahan karena mendaki gunung 2 hari lamanya menjadi tambah sakit. Saya mengambil kelambu yang tidak terpasang dan menutupkan ke badan saya. Ah, masih dingin.

Sekitar sejam kemudian, Pak Alimutia dan Oma membuka pintu sambil membawa lampu petromak. Ia kaget saya sudah pulang dari danau tanpa memberitahu Oma. Oma menyuruh saya pindah ke kasur sebelah. Dalam kamar itu ada dua kasur yang dipasang berdempetan tanpa ranjang. Kelak keesokan paginya, saya baru tahu mengapa ia meminta saya pindah kasur. Kasur yang saya pakai malam itu menggunakan sprei baru, sedangkan yang dikenanakan Oma sendiri spreinya sudah tua.

Oma menyelimuti saya dan memastikan selimut itu benar-benar rapat di tubuh saya dari leher hingga ujung kaki. Selimutnya sangat tebal. Setelah itu, ia meletakkan dua buah bantal guling di sisi saya. “Supaya kamu tidak kedinginan. Di sini dingin,” katanya. Rupanya ia tahu orang kota macam saya tidak terbiasa dengan dingin alami yang berasal dari angin yang berhembus dari pegunungan. Ia sendiri tidak mengenakan selimut. Sebelum merebahkan badan, Oma duduk tegak beberapa menit lamanya dan berkomat-kamit. Barangkali ia membaca doa tidur, saya tidak tahu.

Beberapa menit kemudian, Oma tertidur di sisi saya. Saya masih terjaga, telentang menatap atap rumbia yang menaungi kami. Air mata saya meleleh diam-diam. Saya menangisi kelembutan hati perempuan tua itu.

Saya tiba-tiba tak dapat memejamkan mata meski sedari siang tadi merasa ngantuk dan lelah. Saya memikirkan Oma, perempuan tua yang tampak tak serasi dengan keranjang di pundak ketika berjalan menuju ladang. Kecantikannyalah yang membuat ia tak serasi dengan keranjang kebun itu. Saya melihat ia lebih cocok duduk di atas tahta dan menggerakkan telunjuk ke sana- ke mari memberi perintah kepada para bawahan.Saya memikirkan Lindu. Saya memikirkan kelembutan hati orang-orang gunung ini. Kelembutan hati Oma tak ada bedanya dengan orang-orang yang saya temui di atas pegunungan Pipikoro.

Ini untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Sulawesi Tengah. Saya tidak tahu apa-apa tentang daerah ini, meskipun provinsi kami bertetangga cukup dekat. Sebelumnya yang saya tahu tentang Sulawesi Tengah hanya tentang Poso yang riuh oleh suara tembakan dan ledakan bom karena konflik agama. Tapi di sini, apa yang saya saksikan dari Palu hingga Kulawi dan Sigi sangat berbeda. Saya menyaksikan bangunan mesjid berjarak hanya beberapa puluh meter dari bangunan gereja. Saya melihat para tetangga berbeda agama bergaul dengan cukup akrab. Selebihnya, kesan yang saya peroleh adalah sejuk udara pegunungan dan kelembutan hati orang-orang suku Kulawi, Uma, dan Lindu. Di sini, dalam perjalanan yang begitu singkat, saya benar-benar belajar tentang kelembutan hati orang-orang gunung, dan bagaimana mereka memperlakukan tamu.

Esok paginya, saat kami baru saja menghabiskan segelas kopi dan siap berkemas, Oma muncul ke teras dengan sebuah karung berisi ikan mujair kering. “Ikan ini harus tiba di Makassar,” katanya. Saya terharu. Kemarin, saya lihat karung itu tergantung di atas dapur Oma. Ah, itu pasti persediaan makanan mereka. Saya tidak enak menolak pemberiannya. Dan akhirnya, setengah karung ikan kering itu pun saya bawa ke Makassar. Saya berdoa, semoga Tuhan melapangkan rezeki Oma. Dan semoga ada banyak orang yang membantu saya membalas kebaikannya.

Posting Komentar

0 Komentar